waktu

Selamat datang, di My blog
Welcome to Friend Service

Friend Service

Kumpulan Cah TKJ
SMK Muhammadiyah Bligo 2010-2011
Lihat profil lengkapku

Jumat, 15 Juni 2012

Sejareh muhammadiyah di pekalongan

Pekalongan tahun 20an adalah sebuah kota kecil yang sudah cukup dinamis. Kondisi sosio-ekonominya tergolong maju. Barangkali ini lantaran letak Pekalongan yang berada di pantai utara pulau Jawa, sehingga strategis. Di samping sebagai ibukota karesidenan, Pekalongan saat itu juga menjadi pusat para pedagang, dan para pejuang pergerakan.
Suatu hari tersiar kabar bahwa HOS Cokro Aminoto, tokoh pergerakan kebangsaan, akan berpidato dalam Rapat Oemoem di Pekalongan. Konon, dalam Rapat Oemoem itu juga akan menampilkan seorang kyai dari Yogyakarta. Tokoh yang kedua inilah yang saat itu sedang santer dibicarakan orang karena pendapatnya yang dianggap “kontraversial”.
Dalam catatan Muhammad Rum, Rapat Oemoem adalah peristiwa besar dan langka untuk sebuah kota kecil semacam Pekalongan. Di mata Rum, yang saat itu masih kelas 4 HIS (sekarang SD), mendengarkan pidato dalam rapat oemoem sangat istimewa. Bersama kakak iparnya, Ranuwiharjo, Ia kemudian “nonton” Rapat Oemoem yang diselenggarakan di gedung bioskop Irama.
Dalam pidatonya, HOS Cokro Aminoto membakar semangat juang dan kesadaran berbangsa. Isi pidatonya benar-benar membakar dan membangkitkan sentimen terhadap pemerintah kolonial Belanda. Sontak saja, pidatonya membuat semua orang yang mendengar (termasuk orang pemerintak kolonial Belanda) tersentak kaget, dan merah kupingnya.
Lain lagi saat Kyai asal Yogyakarta bernama Kyai Ahmad Dahlan tampil. Yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata yang sangat menyejukkan. Ia banyak berbicara mengenai kehidupan masyarakat dan kehidupan beragama di Indonesia. Pengunjung sangat tersentuh dengan kata-katanya.
Dari Rapat Oemoem di gedung Bioskop itulah Kyai Dahlan mulai mengenalkan pergerakan amar ma’ruf nahi mungkar bernama Muhammadiyah kepada masyarakat Pekalongan.
Gayung pun bersambut, ternyata pidato kyai Dahlan banyak membuat tertarik orang Pekalongan. Ranuwiharjo misalnya. Seorang pegawai di kantor pegadaian ini langsung berpikir bagaimana melebarkan sayap pergerakan Muhammadiyah di Pekalongan. Ia pun kemudian berdiskusi dengan salah seorang sahabatnya bernama Sutan Mansyur, dari tanah Minang.
Namun, ternyata banyak juga dari kalangan muda dan orang asli daerah Pekalongan yang tertarik dengan pendekatan keislaman yang ditawarkan oleh Kyai Dahlan. Citro Suwarno, Mu’arif, Abdul Hadi, dan lain-lain bersama dengan Ranuwiharjo dan Sutan Mansur kemudian membentuk cabang Muhammadiyah Pekalongan, dengan ketuanya adalah Sutan Mansur. Inilah kepengurusan Muhammadiyah pertama yang dibentuk di Pekalongan.
Tahun 1923 Pengurus Besar (sekarang Pimpinan Pusat) Muhammadiyah memberikan lampu hijau berdirinya cabang Muhammadiyah di Pekalongan, namun baru pada tahun 1928 kepengurusan cabang tersebut mendapatkan pengukuhan secara yuridis formal dengan keluarnya Surat Keputusan (SK) nomor 12/P.K.
Kantor yang mereka gunakan untuk kegiatan adalah rumah Ranuwiharjo di Poncol, yang saat ini menjadi Rumah Bersalin Siti Aisyiyah.
(sumber : Buku Milad Muhammadiyah Pekalongan Ke-85, dengan perubahan seperlunya)

0 komentar:

Posting Komentar

Visit

free counters